Kurikulum 2006, Pupus Sebelum Berkembang
KOMPAS.com - Praktik sistem pendidikan nasional
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses demokratisasi
negara. Pascareformasi, semangat memperbaiki sistem pendidikan menguat
seiring membesarnya kewenangan daerah di era otonomi. Hasil survei
menunjukkan, kebijakan pemerintah bidang pendidikan memperoleh apresiasi
cukup tinggi dari para guru yang menjadi responden.
Terkait
pelaksanaan kurikulum saat ini, yakni Kurikulum 2006, tujuh dari setiap
10 responden menyatakan puas terhadap pelaksanaannya. Tingkat kepuasan
terhadap pelaksanaan Kurikulum 2006 lebih tinggi daripada terhadap
Kurikulum 2004 yang lebih dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi.
Di
mata responden, Kurikulum 2004 cenderung menyeragamkan kurikulum di
seluruh Indonesia dan kurang menghargai keunggulan lokal. Kurikulum
2006, yang merupakan penyempurnaan kurikulum sebelumnya, dinilai menjadi
pedoman penyelenggaraan pendidikan yang demokratis.
Namun,
kepuasan itu tampak merupakan wacana permukaan. Keterbatasan kemampuan
guru menjabarkan struktur kurikulum menyebabkan penerapan Kurikulum 2006
bolong di sejumlah lini. Ada kesenjangan yang tercipta antara konsep
ideal visioner dan kemampuan guru menerjemahkan menjadi rencana
pengajaran.
Kurikulum 2006 dikenal dengan konsep Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Secara yuridis, KTSP diamanatkan oleh
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan.
Apabila ditelusuri lebih lanjut,
setidaknya terdapat dua persoalan yang menyebabkan muatan konsep
demokratisasi pendidikan dalam Kurikulum 2006 berjalan limbung.
Persoalan pertama terkait dengan kesiapan guru sebagai ujung tombak
kegiatan pendidikan di sekolah. Kurun tujuh tahun pelaksanaan Kurikulum
2006 tidak serta-merta membuat guru memahami konsep dan isi kurikulum
ini secara optimal. Pola penerapan KTSP terbentur pada masih minimnya
kemampuan guru dan sekolah.
Survei memperlihatkan, hanya separuh
bagian responden yang memahami isi kurikulum dengan baik. Kelompok ini
terutama dari kalangan kepala sekolah dan guru kelas. Separuh lain,
terutama dari kelompok guru bidang, cenderung hanya mengetahui garis
besarnya. Tidak terdapat perbedaan signifikan antara pemahaman guru
sertifikasi dan tidak bersertifikasi, dari sekolah favorit berakreditasi
A ataupun sekolah berakreditasi B dan C.
Kebanyakan guru
merupakan tipe mediocre dengan kemampuan pas-pasan yang cenderung satu
arah dan belum kreatif ”menerjemahkan” kurikulum. Padahal, gagasan ideal
KTSP mengharapkan lahirnya kebaruan pemikiran yang berbasis pada
lokalitas. Dalam KTSP, seorang guru dituntut untuk lebih kreatif dalam
menjalankan pendidikan. Artinya, dengan keterbatasan tingkat pemahaman
guru terhadap KTSP, sulit mengharapkan munculnya kreativitas pendidikan
dari dalam kelas.
Evaluasi
Persoalan
kedua terkait dengan muatan struktur KTSP yang dinilai terlalu padat.
Tiga dari empat responden menilai, KTSP terlalu sesak yang ditunjukkan
dengan banyaknya mata pelajaran dan materi yang terlalu luas.
Kesukarannya juga dinilai melampaui tingkat perkembangan usia anak.
Bagi
siswa SD, ada 10 mata pelajaran, termasuk muatan lokal dan pengembangan
diri, dengan porsi hingga 36 jam per minggu. Siswa SMP memiliki 12 mata
pelajaran, termasuk muatan lokal serta Teknologi Informasi dan
Komunikasi, dengan porsi 38 jam per minggu. Sebagai perbandingan, di
Amerika Serikat hanya ada empat subyek sebagai inti kurikulum di SD,
yakni bahasa, matematika, ilmu sosial, dan pengetahuan alam.
Beban
kurikulum masih ditambah dengan standar evaluasi lulusan melalui
mekanisme ujian nasional (UN) yang mengukur mutu sekaligus menentukan
kelulusan siswa. UN dipandang cenderung membatasi siswa dan guru yang
berminat mengeksplorasi pengetahuan di luar materi yang diujikan.
Sebagian besar responden menilai, UN tidak relevan menggambarkan
pencapaian pendidikan nasional secara utuh, yang meliputi mental,
spiritual, dan intelektual. Keluhan ini terutama disuarakan para guru
dari sekolah swasta (66,9 persen), sementara guru di sekolah negeri
cenderung gamang menyikapi.
Gamang
Rencana
peralihan kurikulum dari KTSP menjadi Kurikulum 2013 tak urung
menerbitkan tanda tanya bagi sebagian guru responden. Hal ini terkait
dengan kegamangan para guru melihat kenyataan mereka sehari-hari yang
masih jauh dari kata siap dalam menjalankan praktik pengajaran yang
bersifat tematik dalam Kurikulum 2013. Dua dari lima responden tidak
yakin bahwa rencana peralihan kurikulum menjadi cara yang tepat
meningkatkan mutu pendidikan.
Apalagi, dalam praktiknya, ”nasib”
guru sekolah saat ini sangat ditentukan kebijakan dinas pendidikan di
setiap daerah. Hal yang paling menjadi pertanyaan para guru adalah, jika
KTSP yang dinilai ”baik” belum dievaluasi plus dan minus
pelaksanaannya, mengapa sudah buru-buru mau menerapkan kurikulum baru?
(Indah Surya Wardhani/Antonius Purwanto/Litbang Kompas)
Sumber; http://edukasi.kompas.com/read/2013/05/07/09322791/Kurikulum.2006.Pupus.Sebelum.Berkembang
Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 56
Tahun 2022 tentang Standar Pendidikan Guru
-
Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 56
Tahun 2022 tentang Standar Pendidikan Guru
ABSTRAK :
- Bahwa untuk mengha...
1 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar